Jumat, 02 Januari 2009

Sistem Manajemen Kinerja Pegawai

Sejak 1 Januari 2009, PLN mulai menerapkan sistem manajemen kinerja Pegawai yang baru dengan Sistem Manajemen Kinerja Pegawai, atau disingkat MKP. Sebelumnya mulai tahun 1998 PLN sudah menerapkan sistem manajemen kinerja dengan nama Sistem Manajemen Unjuk Kerja Pegawai, atau disingkat MUK.

Latar Belakang

Beberapa hal yang mendasari perubahan tersebut adalah :

1. Hasil dari Opportunity For Improvement (OFI) Malcolm Baldrige tahun 2007, yang mengungkapkan “Meskipun MUK telah dijalankan cukup lama, namun PLN tidak melakukan evaluasi dan assessment yang memadai terhadap prosesnya maupun terhadap keseluruhan hasil penilaian para pegawainya sehingga PLN kehilangan peluang pembelajaran memperoleh informasi yang berharga, khususnya anomali-anomali kinerja individu-unit vs kinerja perusahaan.” Contoh tidak selarasnya kinerja perusahaan dengan kinerja individu adalah hasil kinerja perusahaan sangat baik namun kinerja individu hanya rata-rata, atau sebaliknya kinerja perusahaan buruk namun kinerja individu sangat baik. Fakta yang terjadi adalah 90% lebih kinerja individu terlihat sangat baik sementara kinerja perusahaan tidak sebagus itu.



2. Hasil dari Employee Engagement Survey tahun 2007, yang mengungkapkan bahwa dalam 6 bulan terakhir tidak ada seseorang di kantor yang membicarakan tentang kemajuan prestasi kerja Pegawai. Padahal jika MUK dijalankan secara konsisten, seharusnya terjadi proses coaching & counseling yang dilakukan oleh pimpinan terhadap staf-nya dalam siklus pemantauan kinerja.

Pembelajaran

Kegagalan Sistem Manajemen Kinerja seperti halnya yang dialami PLN, merupakan hal yang wajar mengingat hanya sedikit perusahaan di dunia yang mampu menjalankan Sistem Manajemen Kinerja. Kalau kita sedikit melakukan benchmark pada General Electric (GE), disana distribusi penilaian kinerja individu dipaksa untuk 20-70-10, yaitu : 70% high performer, 20% medium performer, 10% low performer. Setiap tahunnya 10% Pegawai dipaksa untuk berhenti dari perusahaan karena berkinerja sangat rendah, sehingga memicu setiap orang berkinerja optimal bagi perusahaan kalau memang masih ingin berkarir di GE.

Memang sistem seperti di GE tersebut tidak langsung dapat diterapkan pada beberapa perusahaan di Indonesia mengingat perbedaan culture yang sangat mendasar, apalagi undang-undang tenaga kerja di Indonesia yang sangat melindungi tenaga kerja. Bayangkan betapa sulitnya memberhentikan Pegawai yang tidak perform sama sekali, karena dalam undang-undang tenaga kerja, pemutusan hubungan kerja baru dapat dilakukan bila :

1. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

2. Dalam hal perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Lalu apa yang masih bisa dilakukan agar sistem manajemen kinerja dengan ideal bisa diterapkan ?

Penyelarasan

Mulai 5 Januari 2004, PLN sudah mulai mencanangkan tahun penerapan Manajemen SDM Berbasis Kompetensi (MSDM-BK) dan sampai sekarang pilar-pilar pendukung MSDM-BK sudah mulai dibangun, mulai dari pengembangan organisasi dan perencanaan tenaga kerja, sistem rekrutmen, sistem pembinaan karir dan kompetensi, sistem pendidikan dan pelatihan, sistem manajemen kinerja, sistem reward, dan hubungan industrial.

Keseluruhan pilar-pilar tersebut baru dapat berjalan efektif apabila dilakukan secara terintegrasi. Oleh sebab itulah dasar yang harus dibangun untuk membangun pilar-pilar tersebut adalah sistem informasi SDM (Human Resource Information Sytem / HRIS) yang terintegrasi. Mengapa HRIS ? Melalui HRIS output dari satu sistem dapat digunakan sebagai input dari sistem yang lain untuk diproses menjadi suatu output. Contoh : output dari MKP adalah kompetensi dan hasil kinerja individu, kedua output tersebut dijadikan basis dalam pembinaan kompetensi dan karir Pegawai, apakah Pegawai cocok di fungsional atau di struktural, apakah Pegawai dapat cepat atau lama untuk dipromosikan, dan lain sebagainya. Sementara hasil kinerja sendiri menentukan Pegawai untuk memperoleh pay for performance dalam bentuk Imbalan Kerja Semesteran (IKS).

Pay for performance

Pernah mendengar istilah PGPS ? PGPS adalah Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil yang kemudian diplesetkan menjadi Pintar Goblok Penghasilan Sama. Rasanya stigma tersebut banyak melekat diberbagai perusahaan di Indonesia, mungkin tidak hanya di Indonesia. Stigma tersebut tentunya sangat mencederai para Pegawai yang high performer untuk bisa berkontribusi bagi perusahaan secara optimal. Jika menggunakan prinsip pareto, 20-80, yaitu : 20% Pegawai memberikan sumbangan 80% kontribusi kinerja perusahaan, sementara 80% Pegawai hanya memberikan sumbangan 20% kontribusi kinerja perusahaan, maka dengan sistem PGPS yang menikmati hasil dari kerja keras orang lain adalah medium dan low performer.

Jika hal tesebut didiamkan dalam jangka waktu yang cukup lama, akan menyebabkan setiap Pegawai berkinerja rata-rata (average) dan pada akhirnya yang akan menderita (suffer) adalah perusahaan juga.

Untuk menghindari bahaya laten mediocre performer, maka beberapa langkah strategis yang telah dilakukan PLN adalah menerapkan sistem remunerasi berbasis 3P (pay for person, position, performance). Pada pay for performance, setiap Pegawai diberikan kompensasi atas hasil usahanya terhadap kinerja yang telah dilakukan. 3 aktivitas utama untuk mendapatkan pay for performance adalah :

1. Manajemen Kinerja Pegawai, yang hasilnya dalam bentuk Imbalan Kerja Semesteran.
2. Project Assignment, yang hasilnya dalam bentuk Imbalan Kerja Kelompok.
3. Lain-lain, yang hasilnya dalam bentuk Penghargaan Direksi.

Aktivitas lain-lain adalah aktivitas yang tidak direncanakan sebelumnya, seperti : menyelamatkan aset perusahaan dari pencurian/perusakan/sabotase, membuat karya inovasi yang meningkatkan image perusahaan, efisiensi biaya yang signifikan, prestasi luar biasa, dan lain-lain.

Manajemen Kinerja Pegawai

Tujuan MKP adalah :

1. Terwujudnya penilaian kinerja yang dapat membangun dan membina budaya pembelajar dan berprestasi serta memotivasi Pegawai untuk meningkatkan kompetensi dan kontribusi Pegawai bagi perusahaan.

2. Sebagai pedoman untuk mengevaluasi kinerja Pegawai secara lebih transparan, terukur, dan obyektif. Berdasarkan hal inilah dijadikan basis untuk kompensasi dan atau penghargaan yang berkeadilan dan sepadan dengan kinerja Pegawai dalam kurun waktu 1 (satu) semester.

Dengan tujuan tersebut, output utama yang ingin dicapai adalah perubahan mindset, mindset dalam pola bekerja, karir, dan kompensasi, serta transparansi penilaian. Hal yang membedakan dengan MUK terdahulu adalah :

1. Pola kerja, siklus MUK yang semula dilakukan 1 tahun yang tediri atas 3 sesi penilaian dan 2 kali pemberian kompensasi dalam bentuk IKS, siklus diselaraskan menjadi dilakukan 2 kali dalam 1 tahun dan 2 kali penilaian serta 2 kali pemberian kompensasi dalam bentuk IKS.

2. Karir ditentukan atas kompetensi dan kinerja. Sebelumnya hasil dari MUK terdiri atas penilaian tidak memenuhi ekspektasi, sesuai dengan ekspektasi, konsisten sesuai ekspektasi, dan memenuhi ekspektasi. Hasil dari penilaian tersebut menentukan berapa tahun seorang Pegawai dapat naik peringkat / dipromosikan. Sekarang hasil dari MKP terdiri atas kompetensi dan kinerja, dimana kombinasi tersebut menentukan kriteria talenta seorang Pegawai.
  • Special Treatment : Low Performance & Low Competence
  • Foot Soldiers : Average Performance & Low Competence
  • Critical List : Low Performance & Average Competence
  • Workhorses : High Performance & Low Competence
  • Cadre : Average Performance & Average Competence
  • Misfits : Low Performance & High Competence
  • Eagles : High Performance & Average Competence
  • Prince-in-waiting : Average Performance & High Competence
  • Stars : High Performance & High Competence
Selanjutnya berdasarkan kriteria talenta tersebutlah seseorang akan ditentukan untuk promosi atau tidak, masuk talent pool atau tidak, serta bagaimana pola pemberian penugasan-penugasan kepada Pegawai disesuaikan dengan strength & weakness mereka.

3. Penilaian Kompetensi Individu mengacu pada Kebutuhan Kompetensi Jabatan sesuai dengan Direktori Kompetensi sehingga arah pembinaan kompetensi lebih terarah sesuai dengan kebutuhan perusahaan

4. Bobot penilaian disesuikan dengan jabatan, semakin tinggi jabatan semakin besar bobot peran untuk melakukan Coaching / Mentoring / Counselling. Mengapa demikian ? Semakin tinggi jabatan tuntutan hard competency semakin rendah, justru tuntutan soft competency yang lebih diutamakan karena terkait bagaimana kemampuan untuk me-manage resources yang ada / tersedia agar hasil menjadi optimal.

5. Eliminasi hasil penilaian yang kurang obyektif dengan menggunakan multi rater dan komite appraisal. Terkadang menilai orang bukan hal yang mudah bagi setiap orang, apalagi penilaian tersebut berdampak pada karir seseorang. Oleh sebab itu, untuk hal yang bersifat sensitif, terutama menilai kompetensi, penilaian dilakukan dengan multi rater yang melibatkan atasan, rekan kerja, dan bawahan. Selanjutnya rekapitulasi penilaian agar tidak bias divalidasi oleh komite appraisal yang bertugas memverifikasi anomali-anomali kinerja individu-unit vs kinerja perusahaan serta penilaian yang extereme baik atau extreme jelek.

6. Transparansi dilakukan dengan Sistem Informasi Manajemen Kinerja Pegawai (SIMKP) berbasis web yang dapat diakses dimana saja. Siapa yang dapat kriteria Stars atau tidak tercatat di Sistem Informasi dengan evidence yang dapat dipertanggungjawabkan. Melalui SIMKP tersebut, kerahasian penilai dalam sesi multi rater juga bersifat anonim sehingga mengurangi interfensi dari pihak yang tidak diinginkan. Pegawai cukup menjawab beberapa kuesioner yang mengidentifikasikan suatu kompetensi serta bagaimana waktu penyelesaian, pemenuhan target, dan cara pelaksanaan pekerjaan dilakukan oleh Pegawai, selanjutnya sistem yang bekerja untuk melakukan proses rekapitulasi hasil akhir.

7. Forced by system. Ada pepatah mengatakan ”dipaksa-terpaksa-terbiasa-membudaya”. Kira-kira seperti itulah gambaran umum SIMKP yang diterapkan, karena jika Pegawai yang tidak membuat MKP dan atau mengesahkan MKP bawahannya dan atau melakukan penilaian kinerja individu dan atau terlambat mengirimkan nilai kinerja individu dan atau tidak memberikan umpan balik kinerja individu (multi rater), maka Pegawai tersebut kehilangan hak mendapatkan pay for performance berupa Imbalan Kinerja Semesteran.

8. Tahap awal implementasi MKP dengan SIMKP dilakukan khusus untuk Manajemen Atas, Manajemen Menengah, Fungsional I, dan Fungsional II. Sementara Pegawai yang lain dilakukan secara manual tanpa menggunakan multi rater dalam mengukur kompetensi individu. Alasan utama proses ini dilakukan secara bertahap karena proses perubahan mindset perlu proses pembelajaran dan perlu role model dari pimpinan. Disamping itu juga manajemen kinerja berlaku pola top-down, yaitu Key Performance Indicator (KPI) pimpinan di-cascade menjadi KPI bawahannya dan seterusnya. Dan melakukan cascading KPI tentunya bukan hal yang mudah terutama bagi yang belum terbiasa melakukannya, terutama bagi yang ”doing without planning”

Perjalanan Masih Berlanjut

Bagaimanapun suatu sistem tidak pernah ada kata sempurna, Al Qur’an saja yang diciptakan oleh Allah SWT masih banyak manusia yang sulit untuk menjalankan perintahnya, apalagi sistem yang dibuat oleh manusia. Oleh sebab itu kata kuncinya adalah ”konsistensi”. Bagaimana agar konsistensi tersebut dapat dipelihara ? salah satu tools yang sederhana adalah menggunakan siklus PDCA : Plan, Do, Check, Action.

Plan : rencanakan perubahan untuk arah yang lebih baik.
Do : lakukan segera apa yang bisa kita lakukan sesuai dengan Plan
Check : periksalah apa yang sudah kita lakukan (Do), apakah ada permasalahan ? apakah masih selaras dengan Plan ? apakah ada hal-hal baru yang bisa disempurnakan ?
Action : sempurnakan apa yang telah kita lakukan (Do) sesuai dengan apa yang kita evaluasi (Check) dan jadikan hal tesebut sebagai rencana perbaikan ke depan (Plan)

Kegagalan utama yang sering kita jumpai adalah saat kita melakukan Do dari nol, oleh sebab itu lakukan Do berdasarkan Plan dari siklus PDCA sebelumnya. Bagaimana siklus PDCA dapat berputar terus sehingga selalu terjadi penyempurnaan tanpa henti ? kucinya adalah kembali kepada manusia.

Referensi :

1. Keputusan Direksi PT PLN (Persero) Nomor : 337.K/DIR/2008 tentang Sistem Manajemen Kinerja Pegawai.
2. Keputusan Direksi PT PLN (Persero) Nomor : 075.K/010/DIR/1998 tentang Sistem Manajemen Unjuk Kerja Pegawai.
3. Edaran Direksi PT PLN (Persero) Nomor : 043.E/010/DIR/1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Sistem Manajemen Unjuk Kerja Pegawai.

Penulis : Ridho Hutomo. Praktisi dan Analis SDM.

Download this article

1 komentar:

agus mengatakan...

Tulisan yang menarik.
Distribusi 20%-70%-10% pada penilaian kinerja individu, kalau tidak salah disebut juga "forced bell curve". Setahu saya dengan sistem ini, maka record performace perusahaan dan record performace keryawannya menjadi sejalan. Namun konon sistem ini sulit diterapkan pada unit kerja yang sedikit jumlah stafnya. Ada juga argumen yang mengatakan bahwa performance kerja tidak bisa dianggap mengikuti distribusi normal. Mohon pencerahan. Terima kasih